Sebagaimana senyuman yang damai, kadang kita harus memarahi
anak. Ini bukan berarti kita meninggalkan kelembutan, sebab memarahi dan sikap
lemah-lembut bukanlah dua hal yang bertentangan. Lemah-lembut merupakan
kualitas sikap, sebagai sifat dari apa yang kita lakukan. Sedangkan memarahi
-bukan marah-merupakan tindakan. Orang bisa saja bersikap kasar, meskipun dia
sedang bermesraan dengan istrinya.
Persoalan kemudian, kita acapkali tidak bisa meredakan emosi
pada saat menghadapi perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan
karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan
kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi kita perlu terus-menerus belajar
meredakan emosi saat menghadapi anak, utamanya saat menghadapi perilaku mereka
yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita akan
tidak efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan
"kenakalannya".
Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita
perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita
menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka.
Selebihnya, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan:
Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan Ancaman
Anak-anak belajar
dari kita. Mereka suka
mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka
melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai.
Dari kita, mereka juga belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan
"keakuannya".
Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh luar yang bisa
mengubah perilaku anak. Teman- teman sebaya, khususnya yang sangat akrab dengan
anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara bicara, bertindak,
mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak
memahami apa yang dikatakan, tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Ia
hanya menirukan apa yang didengar.
Perbincangan kita kali ini bukanlah tentang peniruan. Karena
itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana ancaman kepada anak,
acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman tidak banyak
bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita
sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuat anak belajar berontak dan menentang.
Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita
meneriakkan ancaman di telinga mereka. Selain itu, kita sering lupa menunjukkan
apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.
Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pertama, Adalah buruk
memarahi tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama
dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan.
Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk
mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu.
Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu, hendaknya
menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik dan bersabar bila belum bisa
memenuhinya.
Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan
anak konsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu.
Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukan ancaman.
Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa
mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam.
Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali mudah kehilangan
kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk konsisten.
"Ibu / Bapak Sudah Bilang Berkali-kali."
Perilaku yang menjengkelkan memang lebih mudah diingat,
lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk segera bertindak.
Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong kita untuk memberi
komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat mengesankan.
Konsumen yang kecewa pada suatu produk, akan segera menggerutu ke sana kemari,
meski kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas
cenderung akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua
dan anak juga demikian. Orangtua mudah ingat perilaku negatif anak, sementara
anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya.
Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati
anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, "Ibu / Bapak
sudah berkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau mendengarkan."
Ungkapan ini memang efektif untuk membuat anak diam
menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari
kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk.
Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri (self esteem) anak akan lemah.
Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan
berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orangtua juga
demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akan semakin
mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan sendiri
bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan susah dinasehati.
Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan
ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau yang sejenis
dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan
tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita
masih buruk.
Jangan Cela Dirinya, Cukup Perilakunya Saja
Suatu saat, kira-kira jam setengah dua dini hari seorang
anak saya bangun dari tidurnya. Ia kemudian beranjak dan mengajak adiknya yang
masih bayi bercanda, padahal adiknya baru saja tertidur. Sebagaimana ibunya,
saya juga sempat emosi. Hampir-hampir saya tidak dapat mengendalikan emosi,
tetapi saya segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anak saya merupakan
cerminan dari dari rasa sayangnya kepada adik. Nah, apa yang terjadi jika saya
mencela anak saya? Apalagi kalau saya memelototi dan menghardiknya keras-keras,
iktikad baik itu bisa berubah menjadi kemarahan sehingga anak justru
mengembangkan permusuhan kepada adiknya. Ia bisa belajar membenci adiknya.
Apa yang saya ceritakan hanyalah sekedar contoh. Tidak
jarang anak menampakkan perilaku "negatif", padahal ia tidak
bermaksud demikian. Suatu ketika, pulang dari play-group anak saya berkata,
"Bapak kurang ajar." Setelah saya tanya maksudnya, ternyata dia tidak
mengerti makna kurang ajar. Ia mengatakan, "Kurang ajar itu ya main-main,
sembunyi- sembunyian."
Kita sangat mudah keliru menangkap maksud anak. Kita gampang
terjebak dengan apa yang kita lihat. Karenanya kita perlu belajar untuk lebih
terkendali dalam menilai anak. Jangan sampai terjadi anak punya maksud baik,
tetapi justru kita cela dirinya sehingga justru mematikan inisiatif-insiatif
positifnya. Bahkan andaikan ia memang melakukan tindakan yang negatif, dan ia
tahu tindakannya kurang baik, yang kita perlukan adalah menunjukkan bahwa ia
seharusnya bertindak positif. Kita luruskan perilakunya. Bukan mencela dirinya.
Sibuk mencela anak membuat kita lupa untuk bertanya, "Kenapa anak saya
berbuat demikian?" Di samping itu, celaan pada diri -dan bukan pada
tindakan-bisa melemahkan citra diri, harga diri dan percaya diri anak. Pada
gilirannya, anak memiliki motivasi yang rapuh.
Sebagian kita merasa tidak merasa mencela anak, padahal
ucapan kita menyudutkan anak. Misalnya, "Kamu kenapa tidak mau mendengar
nasehat bapak? Heh? Kamu selalu saja ngeyel."
Pada ucapan ini, fokus kemarahan kita adalah anak
sebagaimana kita tunjukkan dengan kata kamu. Bukan tindakannya yang salah.
Jangan Katakan "Jangan"
Barangkali tidak ada kata yang lebih sering diucapkan oleh
orangtua pada anak melebihi kata "jangan". Kita menggunakan kata
jangan begitu melihat anak melakukan tindakan yang kurang kita sukai. Kita juga
menggunakan kata jangan, bahkan di saat kita mengharap anak melakukan yang
lain. Padahal kata jangan tidak membuat mudah mengerti apa yang seharusnya
dilakukan. Akibatnya, anak sulit memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua
bisa semakin jengkel karena merasa nasehatnya tidak didengar anak. Orangtua
merasa anaknya suka ngeyel (kepala batu, orang Bugis bilang).
Lalu, apakah kita tidak boleh memberi larangan? Saya tidak
dapat membayangkan betapa hancurnya sebuah dunia tanpa ada larangan sama
sekali. Begitu pun keluarga. jangan katakan jangan pada saat ia sedang
melakukan kesalahan. Tunjukkanlah apa yang seharusnya dilakukan. Atau bersabarlah
sampai ia menyelesaikan maksudnya, Kalau kita tidak mau anak bermain pasir di
teras, katakanlah, "Nak, main pasirnya di teras saja, ya?" Singkat,
padat, jelas dan positif. Bukan, "Ayo, jangan main pasir di teras. Saya
pukul kamu nanti."
Kapan sebaiknya kita sampaikan larangan? Saat terbaik adalah
ketika anak sedang akrab dengan orangtua. Dalam suasana netral, larangan yang
kita berikan pada anak akan lebih efektif. Anak lebih mudah memahami. Mereka
bisa menerimanya sebagai aturan. Bukan menganggapnya sebagai serangan kepada
dirinya.
No comments:
Post a Comment