Pages

Saturday, February 23, 2013

Membentuk Mental Anak Laki-Laki

Tanya:
Bu Mayke, bagaimana ya caranya membentuk mental anak laki-laki supaya berani membela diri dan kalau perlu melawan bila ada temannya yang menindas? Anak saya (5) diam saja bila mainannya direbut temannya dan sering jadi objek penderita saat bermain dengan teman-teman. Sampai gemas saya melihatnya, anak laki-laki kok "lembek" begitu. Mohon saran dari ibu Mayke. (Yohana Carline, Jakarta)

Jawab:
Mental anak laki-laki maupun perempuan perlu dibentuk menjadi anak yang percaya diri dan tangguh. Mengapa anak laki-laki Anda mudah mengalah dan menjadi bulan-bulanan teman sebayanya? Bisa saja ketika kecil dia dibiasakan untuk selalu mengalah tanpa mempertahankan dirinya dan sekarang ketika usianya lima barulah orangtua merasakan kerugiannya bila anak selalu mengalah. Kemungkinan lain, anak cenderung mempunyai kepribadian yang submisif, tidak mau berkonflik dengan orang lain dan dia mencari jalur aman.

Bagaimana menyiasati ketidakberdayaan anak menghadapi tekanan temannya? Ibu bisa membahas apa perasaan yang dialami anak ketika temannya menindas dia. Kemudian tanyakan, seharusnya bila teman mengancam atau merebut benda miliknya, apa yang akan dia lakukan. Pancing dulu diri anak, apa yang akan dilakukan ketika menghadapi situasi yang mengancam dirinya. Jangan langsung memberikan solusi pada anak, biarkan dia yang memikirkannya terlebih dulu agar lama kelamaan idenya terasah tanpa perlu dibantu oleh ibunya. Melalui metode ini, sedikit demi sedikit anak diberdayakan dan dibangkitkan keberaniaannya melawan sang penindas.

Sebaliknya, jangan mengajari anak untuk melawan dengan cara memukul teman sebab jalan ini bukan penyelesaian yang baik. Sebaiknya anak dibiasakan menyatakan ketidaksukaanya secara verbal, pernyataan, seperti, "Mainanku gak boleh di rebut" atau "Kalau mau pinjam mainanku, tunggu sampai aku selesai. Nanti kamu akan dapat giliran, kita bergantian memainkannya", "Aku gak mau dipukul", dan lain-lain.

Akan tetapi perlu dicari apa sumber penindasan, misalnya di sekolah, karena alat permainan sangat terbatas sehingga anak cenderung saling rebut dan tidak sabar menunggu giliran. Berarti pihak sekolah pun perlu memerhatikan fasilitas permainan yang memadai. Di rumah atau dengan tetangga. Lumrah terjadi saling rebut antara anak sebab mereka masih mementingkan diri sendiri. Tentunya dengan arahan orang dewasa yang mengetahui keadaan ini, pertentangan bisa ditengahi.

(Tabloid Nakita/Dra. Mayke S. Tedjasaputra, MSI, Play Therapist dan PSikolog)

No comments:

Post a Comment