Pages

Tuesday, February 26, 2013

Teman Anak Kita Suka Memukul


Teman Balita Kasar

Anda pasti jengkel bila balita dipukul, didorong atau dicubit temannya. Bisa jadi  sebenarnya saat si teman berperilaku agresif, ia tidak punya intensi untuk melukai anak Anda. Ia baru bisa merasakan bahwa kepemilikannya sedang terancam bahaya, dan biasanya bentuk kemarahan adalah dengan instrumental fisik, seperti pukul atau dorong. Karena ia belum bisa mengukur kekuatannya, ia tidak sadar bahwa kelakuannya itu menyakiti orang lain. 

Lakukan ini: 

Ajak anak untuk belajar bilang, “Aku sakit kalau dipukul. Aku tidak suka.” ketika temannya melakukan ‘kekerasan’. Anak perlu belajar untuk bersikap asertif.  Adakan sesi khusus untuk ngobrol dengan anak, terlebih bila Anda melihat ia diam saja saat dikasari oleh teman. “Bunda tadi lihat kamu dipukul, sakit tidak? Bunda ingin bantu kamu, tapi Bunda kira kamu tidak butuh bantuan, kamu tidak bilang ke Bunda” adalah contoh ajakan Anda untuk membiarkan anak mengungkapkan perasaannya.

Beri contoh cara mengungkapkan emosi  misalnya ketika mainannya diambil paksa, katakan “Jangan ambil mainanku!” bukan dengan memukul. Atau bila sedang bermain gulat –anak usia ini, terutama anak laki-laki sedang hobi bermain gulat atau yang berhubungan dengan kekuatan– bermain pura-pura saja. Ketika ini sudah tertanam pada anak, bisa jadi ia malah ‘mengajari’ temannya cara ini.

Sumber : http://www.ayahbunda.co.id

Jika Anak Kita Dipukul Temannya


SI KECIL PUN BERHAK MEMBELA DIRINYA

Moms, apa yang biasa Anda katakan pada anak-anak Anda jika mereka disakiti atau dinakali oleh teman-temannya?

Ya, sering kali kita melarang anak-anak kita untuk “membalas” atau menyuruhnya untuk mengalah saja apabila ia dipukul atau dinakali oleh saudara atau teman bermainnya. Selain untuk menghindari pertengkaran berlanjut, Anda mungkin juga takut jika si kecil malah menjadi senang memukul, yang akhirnya justru anak Anda-lah yang dicap sebagai anak nakal.

Padahal, sama halnya dengan orang dewasa, anak-anak pun memiliki hak untuk membela diri atau melakukan pembelaan ketika ia merasa disakiti atau dilanggar hak-haknya. Mudah membalas perbuatan nakal anak lain, memang kurang baik. Tapi, terus-terusan mengalah pun, lebih tidak baik lagi bagi tumbuh kembangnya di masa mendatang.

Anak-anak yang tidak pernah diajarkan tentang harga diri atau self esteem, akan tumbuh menjadi anak-anak yang rendah diri, menarik diri dari pergaulan, tidak percaya pada kemampuannya sendiri, pengecut, cengeng, malas, atau bahkan sebaliknya, ia akan menjadi anak yang egois, cenderung menindas anak-anak yang terlihat lebih lemah, pembohong, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana caranya?

Ajari anak Anda untuk “berhitung”. Ini adalah cara yang sangat mudah untuk menumbuhkan harga dirinya, tanpa harus membuatnya menjadi anak yang nakal.

Tanamkan padanya, jika ada teman atau saudaranya merebut mainannya, atau memukulnya, maka cegah agar anak Anda tidak langsung marah dan membalas. Tapi, tekankan padanya untuk menghitung. Satu kali, diamkan. Ia bisa mengalihkan diri dari mainan yang semula atau menjauh dari anak yang suka memukul tadi. Dua kali dipukul, diamkan lagi, tapi ajari si kecil untuk waspada. Tiga kali ia masih tetap dipukul, maka ia boleh untuk balas memukul, satu kali saja, lalu pergi untuk menjelaskan alasan mengapa ia memukul temannya pada Anda.

Anda mungkin masih takut jika “pembalasan” anak Anda akan menuai protes dari orang tua si anak yang tadi lebih dahulu memukul. Jangan takut, sebab anak Anda harus dan perlu membela dirinya. Anak Anda berhak. Dan hanya orangtua yang tidak bijak saja yang tidak mau berkaca dan melihat bahwa begitulah dunia anak-anak. Kadang bertengkar, semenit kemudian akur lagi, begitulah.

Sumber : http://www.rumahbunda.com/

Saturday, February 23, 2013

Memberikan Anak Tugas Rumah Sesuai Usia


Melatih anak bertanggung-jawab dan disiplin bisa dilakukan dengan memberikan mereka tugas harian di rumah. Yang akan mereka dapatkan bukan hanya rasa tanggung-jawab, tapi juga life skill yang dibutuhkan saat ia tumbuh dewasa.
Tugas-tugas rumah akan membentuk anak jauh dari sifat manja dan membangun kemandiriannya. Yang perlu diingat, berikan tugas harian sesuai dengan usianya. Karena anak-anak juga punya keterbatasan untuk melakukan tugas rumah yang masih rumit.
Berikut ini adalah daftar tugas yang harus disesuaikan berdasarkan usianya:
Batita (usia 2-3)* Memungut mainannya yang berceceran.
* Mengelap debu di meja dengan kemoceng.
* Membantu mengeluarkan pakaian dari mesin cuci ke keranjang.
Anak prasekolah (usia 4-5)
* Semua tugas di atas.
* Membawa piring kotor ke bak cuci piring.
* Memberi makanan hewan peliharaannya.
* Menyiram tanaman sambil mencabuti rumput liar.
Anak sekolah dasar awal (usia 6-8)* Semua tugas sebelumnya.
* Membantu memasak dengan mencuci bersih bahan-bahan makanan. Anda juga bisa memintanya mengambil dan mengumpulkan bahan makanan yang akan diolah.
* Membantu melipat pakaian bersih.
* Menyapu lantai, paling tidak dari kamarnya sendiri.
Anak sekolah dasar  (usia 9-11)
* Semua tugas sebelumnya.
* Membuat sarapan yang mudah seperti roti isi untuk keluarga, sementara Anda menyiapkan bekal makan siang dan membuat minuman.
* Membuang sampah.
* Mengepel lantai.
Anak sekolah menengah (usia 12-14)
* Semua tugas di atas.
* Membantu memasak makanan lengkap.
* Mencuci piring.


Sumber: Shine

Membentuk Mental Anak Laki-Laki

Tanya:
Bu Mayke, bagaimana ya caranya membentuk mental anak laki-laki supaya berani membela diri dan kalau perlu melawan bila ada temannya yang menindas? Anak saya (5) diam saja bila mainannya direbut temannya dan sering jadi objek penderita saat bermain dengan teman-teman. Sampai gemas saya melihatnya, anak laki-laki kok "lembek" begitu. Mohon saran dari ibu Mayke. (Yohana Carline, Jakarta)

Jawab:
Mental anak laki-laki maupun perempuan perlu dibentuk menjadi anak yang percaya diri dan tangguh. Mengapa anak laki-laki Anda mudah mengalah dan menjadi bulan-bulanan teman sebayanya? Bisa saja ketika kecil dia dibiasakan untuk selalu mengalah tanpa mempertahankan dirinya dan sekarang ketika usianya lima barulah orangtua merasakan kerugiannya bila anak selalu mengalah. Kemungkinan lain, anak cenderung mempunyai kepribadian yang submisif, tidak mau berkonflik dengan orang lain dan dia mencari jalur aman.

Bagaimana menyiasati ketidakberdayaan anak menghadapi tekanan temannya? Ibu bisa membahas apa perasaan yang dialami anak ketika temannya menindas dia. Kemudian tanyakan, seharusnya bila teman mengancam atau merebut benda miliknya, apa yang akan dia lakukan. Pancing dulu diri anak, apa yang akan dilakukan ketika menghadapi situasi yang mengancam dirinya. Jangan langsung memberikan solusi pada anak, biarkan dia yang memikirkannya terlebih dulu agar lama kelamaan idenya terasah tanpa perlu dibantu oleh ibunya. Melalui metode ini, sedikit demi sedikit anak diberdayakan dan dibangkitkan keberaniaannya melawan sang penindas.

Sebaliknya, jangan mengajari anak untuk melawan dengan cara memukul teman sebab jalan ini bukan penyelesaian yang baik. Sebaiknya anak dibiasakan menyatakan ketidaksukaanya secara verbal, pernyataan, seperti, "Mainanku gak boleh di rebut" atau "Kalau mau pinjam mainanku, tunggu sampai aku selesai. Nanti kamu akan dapat giliran, kita bergantian memainkannya", "Aku gak mau dipukul", dan lain-lain.

Akan tetapi perlu dicari apa sumber penindasan, misalnya di sekolah, karena alat permainan sangat terbatas sehingga anak cenderung saling rebut dan tidak sabar menunggu giliran. Berarti pihak sekolah pun perlu memerhatikan fasilitas permainan yang memadai. Di rumah atau dengan tetangga. Lumrah terjadi saling rebut antara anak sebab mereka masih mementingkan diri sendiri. Tentunya dengan arahan orang dewasa yang mengetahui keadaan ini, pertentangan bisa ditengahi.

(Tabloid Nakita/Dra. Mayke S. Tedjasaputra, MSI, Play Therapist dan PSikolog)

Ayah Juga Bertanggung Jawab Mendidik Anak


Saat ini banyak terjadi kekosongan peran ayah dalam pendidikan anak. Padahal, tumbuh kembang anak adalah tanggung jawab orangtua, yaitu ayah dan ibu.

Hal itu dikemukakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari dalam sambutan pada penobatan Duta Dancow Parenting Center 2012, di Jakarta, Kamis (31/1/2013) lalu.

Menurut Linda, di masyarakat masih berkembang pandangan bahwa pengasuh anak adalah ibu. ”Salah satu penyebab adalah budaya patriarkat,” katanya.

Padahal, usia 0-8 tahun merupakan usia penting bagi anak untuk mendapatkan teladan. ”Anak perlu figur ayah dan ibu sebagai tokoh idola,” ujar Linda.

Hal senada dikatakan dokter spesialis gizi medik, Saptawati Bardosono. Menurut dia, peran ayah tidak kalah penting dari ibu. Ibu berperan mengandung dan melahirkan. Peran ayah memberikan perlindungan bagi ibu. ”Rasa nyaman dan aman dari ayah sangat berpengaruh terhadap perkembangan janin,” katanya.

Linda menekankan pentingnya menjaga status gizi dan kesehatan ibu pada kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Hal itu berpengaruh terhadap perkembangan mental, fisik, dan kecerdasan anak. Periode 1.000 hari pertama perkembangan anak merupakan periode sensitif. ”Jika terjadi kurang gizi, akibatnya tak dapat dikoreksi,” ujarnya.

Status gizi dapat ditingkatkan dengan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan. Selanjutnya, pemberian ASI bersama makanan tambahan sampai anak berusia dua tahun. Sayuran, buah-buahan, ikan, dan produk kedelai mendukung terjaganya kecukupan gizi anak.

Linda mengingatkan pentingnya sarapan sehat. Pekan Sarapan Nasional telah dideklarasikan Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan) Indonesia, Persatuan Ahli Gizi Indonesia, Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia, dan Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia, awal Januari lalu. (K09)

Sumber : female.kompas.com

Perlakuan Negatif Orangtua pada Anak





Pada anak pemalu atau berani yang ekstrem, biasanya didapati adanya kerusakan otak. Contohnya bisa terlihat pada anak-anak berkebutuhan khusus yang terbagi dua, sangat pemalu (pasif) atau sangat berani.

Sikap berani atau pemalu yang ekstrem juga terlihat pada anak-anak yang sering menerima perlakuan negatif dari orangtuanya. Tanpa disadari, perlakuan ini bisa menyebabkan otak anak mengalami kerusakan.

Perlu diketahui, di masa pertumbuhan dan perkembangannya, saraf otak anak masih dalam proses saling bersambungan. Ketika orangtua sering membentak anak, memarahi, atau merendahkan dengan kata-kata dan perbuatan kasar, serta beragam sikap tak baik lainnya, maka jiwa anak menjadi tertekan.

Adanya tekanan ini berakibat pada rusak dan gagalnya proses persambungan sel-sel saraf otak. Jika sudah mengalami kerusakan tentunya perlu waktu untuk membangunnya kembali. Perbaikan pun tak akan berlangsung sempurna karena bekas kerusakannya terlanjur menetap.

Selain itu, anak yang sering disikapi negatif juga akan membentuk cara berpikir yang tidak optimal. Informasi yang diterima anak tidak akan sampai ke pusat otaknya, melainkan hanya diproses di batang otak saja, sehingga sulit baginya untuk bisa berpikir logis.

Karenanya, diperlukan pola asuh yang dapat membuat anak happy dan percaya diri tanpa membuatnya manja dan tidak mandiri. Antara lain dengan cermat dan berhati-hati menghadapi anak, berbicara dengan intonasi yang lembut, dan menjadi orangtua yang mampu bersikap luwes di segala situasi. Semua ini akan membantu anak memiliki pengalaman positif yang akan membentuk proses perkembangannya, baik kognitif mau pun mentalnya.

(Tabloid Nakita/Dedeh Kurniasih via female.kompas.com)

Menjadi Orangtua Luar Biasa


Apakah Anda sudah menjalani apa yang dilakukan orangtua luar biasa kepada anak dan keluarganya? Jangan dulu merasa hebat sebelum Anda mengenali 12 ciri orangtua luar biasa ini dalam diri Anda. Grown dan Flown, penulis buku Goldman Sachs: The Culture of Successmemaknai orangtua luar biasa sebagai berikut:

1. Orangtua hebat memaknai pernikahan bukan hanya milik berdua, tapi merupakan sumber keteladanan bagi anak-anaknya. Karenanya orangtua sudah semestinya mencontohkan cara mengelola amrah, cara menunjukkan afeksi, caranya bertoleransi, bagaimana berbuat baik, karena anak akan merekam semua hal ini dari orangtuanya.
2. Orangtua hebat menyadari bahwa dunia akan terus berputar, dan mereka selalu mampu menjalaninya tanpa kehilangan arah. Dengan begitu, anak-anak mereka pun takkan kehilangan arah karena kalau orangtua kebingungan menghadapi apa yang terjadi dalam hidupnya, anak-anak pun akan mengalami hal yang sama.

3. Orangtua hebat punya perhatian besar terhadap apa yang menjadi passion anak-anaknya. Mereka menunjukkan kepedulian dan kasih sayang pada anak, dan selalu mencari cara untuk meningkatkan bonding. Orangtua hebat juga selalu mau belajar untuk memasuki dunia anak-anaknya, untuk menunjukkan pada anak-anak mereka bahwa menghargai dan mendukung apa yang anak mereka lakukan dan sukai.

4. Orangtua hebat punya "hubungan sehat" dengan keuangan, makanan. Mereka menjadi tempat belajar anak mengenai cara menghargai uang, cara mengonsumsi makanan yang baik, dan ini menjadi bekal penting saat anak tumbuh dewasa dan hidup mandiri nantinya.

5. Orangtua hebat memiliki hubungan yang terjaga baik dengan saudara-saudara kandungnya, kakak-adiknya, keluarganya. Mereka mencontohkan bagaimana hubungan baik dalam keluarga harus terus terjaga dan merupakan hal penting yang sangat memengaruhi kehidupan, termasuk kehidupan anak-anaknya nanti.

6. Orangtua hebat tak pernah menonjolkan kehebatannya. Mereka tidak ingin selalu merasa benar dan hebat, apalagi di depan anak-anaknya. Kredibilitas lebih penting ketimbang ego yang tinggi.

7. Orangtua hebat selalu memiliki antusiasme dalam menjalankan pengasuhan, sejak anak dilahirkan sampai dewasa.

8. Orangtua hebat mengajarkan anak-anaknya untuk berusaha mandiri menggali potensi, menunjukkannya, dan memberikan kontribusi sebagai pribadi dengan potensi yang dimilikinya. Mereka mendorong anak-anaknya untuk mengasah kemampuan diri, meski kadang harus membuat anak marah atau membuatnya dibenci oleh anak-anaknya sendiri. Namun hasilnya, anak belajar mengenai kerja keras dan fokus pada potensi diri.

9. Orangtua hebat melewati masa di mana anak-anak marah bahkan benci kepada mereka. Namun justru momen inilah yang menunjukkan mereka telah menjalankan tugas pengasuhan dengan baik. Momen ini takkan menghentikan orangtua hebat untuk selalu berbesar hati terhadap anak-anaknya, dan takkan pernah mundur untuk selalu menjadi pendamping dan pebimbing bagi keluarganya.

10. Orangtua hebat menyadari dan memahami kecemasan yang anak-anak mereka rasakan. Mereka akan merespons masalah yang terjadi pada anak-anak, tanpa rasa panik, namun justru memberikan perhatian penuh.

11. Orangtua hebat selalu mau beradaptasi dengan anak-anaknya, dan berlaku adil tak pernah memperlakukan anak-anak secara berbeda.

12. Orangtua hebat tak pernah kebingungan memisahkan siapa orang dewasa, siapa anak-anak, siapa yang memegang kendali dan tanggung jawab. Artinya, di tengah perselisihan apa pun, saat mengalami kondisi sulit apa pun, orangtua selalu berada terdepan mengendalikan situasi dengan cara-cara yang adil. Bukan hanya memihak dirinya, namun memerhatikan kebutuhan keluarganya. Menunjukkan ketegasan yang mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari anak-anaknya.

Sumber: Huffington Post via female.kompas.com


Ajak Ayah Hadir Secara Fisik dan Psikis


Ayah punya peran penting dalam pengasuhan anak, terutama bagi anak-anak di usia pertumbuhan 0-15 tahun. Kehadiran ayah, secara fisik dan psikis dibutuhkan anak-anak dalam masa penting ini. 

Sayangnya, keterampilan keayahan (fathering skill) masih sangat terbatas karena beragam faktor. Baik karena minimnya kesadaran ayah tentang peranannya dalam pengasuhan, hingga terbatasnya akses mendapatkan informasi pengasuhan lantaran urusan pengasuhan anak lebih banyak menyasar kaum ibu ketimbang ayah.

Menyadari bahwa ayah juga butuh akses pengetahuan pengasuhan juga ruang berbagi pengalaman seputar perannya dalam keluarga, Mothercare bekerja sama dengan Sahabat Ayah mengadakan talkshow bertema "Pentingnya Waktu Berkalitas Bersama Ayah". Kegiatan yang berlangsung di Doodles Miniapolis Plaza Indonesia ini menghadirkan pendiri Sahabat Ayah, Irwan Rinaldi, selaku pembicara. Pelanggan juga pengunjung Mothercare yang berbelanja minimal Rp 200.000 berkesempatan mengikuti talkshowuntuk menggali pengetahuan mengenai keayahan dari Sahabat Ayah.

Dalam paparannya, Irwan menekankan pentingnya kehadiran ayah secara psikologis bagi anak-anak. Irwan pun membagi kiat untuk para ayah, agar selalu bisa meluangkan waktu dan perhatian untuk anak-anak, kapan dan di mana saja. Bahkan di tengah kesibukan ayah mencari nafkah, pengasuhan tak bisa ditinggalkan.

Pengasuhan anak membutuhkan peran ayah dan ibu yang setara. Karena anak membutuhkan keteladanan dari ayah dan ibunya secara seimbang. "Sesibuk apa pun ayah jangan lewatkan waktu penting untuk anak yakni saat bangun pagi dan sebelum tidur. Golden moment akan datang setiap detik. Momen fathering juga akan datang kapan saja, tergantung apakah ayah cukup peka terhadapnya," Irwan memaparkan saat talkshow berlangsung Sabtu (23/2/2013).

Pada kesempatan yang sama, Yully Purwanti Nugroho, humas Sahabat Ayah berharap kegiatan sosialisasi isu keayahan yang mencakup kegiatan berbagi keterampilan keayahan ini, lebih banyak melibatkan dan mendapatkan perhatian kaum ayah. Pasalnya, isu keayahan ini belum banyak yang memerhatikan, terutama dari kalangan pria lantaran masih kuatnya paradigma mengenai peran ayah hanya sebagai pencari nafkah semata. Juga mindset ayah yang masih perlu diubah.

"Isu keayahan bukan isu seksi, tidak ada yang memerhatikan. Kuatnya mindset ayah sebagai pencari nafkah juga perlu diubah. Belum lagi motherhood masih sangat kuat di Asia. Anak berayah ada, berayah tiada. Punya ayah secara fisik namun tidak berayah secara psikologis," ungkapnya kepada Kompas Female seusai acara.

Sumber : http://female.kompas.com